Welcome to WTCF Blogspot

Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB)/
West Timor Care Foundation
(WTCF)
adalah Suatu Lembaga yang hadir untuk dan berjuang bersama seluruh elemen masyarakat Timor dan sekitarnya serta segenap manusia di dunia yang peduli terhadap penderitaan manusia dan lingkungan akibat ulah manusia lain yang memiliki akses terhadap kekuasaan di berbagai bidang kehidupan.
Salah satu perjuangan WTCF adalah meminta pertanggung jawaban PTTEP dan Pemerintah Federal Australia untuk memberikan kompensasi kepada Pemerintah Indonesia dan Rakyat NTT yang telah menderita akibat ledakan kilang minyak PTTEP Australasia pada tanggal 21 Agustus 2009.


Senin, 27 September 2010

Laut Timor: Malapetaka bagi Manusia?

 Oleh: Gregor Neonbasu SVD, PhD.
Catatan: Opini diambil dari Harian Timor Express Kupang yang dimuat pada Selasa, 24 Aug 2010

Penulis adalah Ketua Komisi Sosial Budaya Dewan Riset Daerah Propinsi NTT, dan Direktur Puslit MANSE NSAE Kupang.
Adalah menarik untuk direfleksi tulisan Dr James Adam Laut Timor Tercemar dan Resiko Ekonomi dalam harian ini (Sabtu 21/8), kemudian liputan harian yang sama dari pertemuan Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) di Sasando Hotel (22/8), dan tulisan Prof M.A. Noach, Ph.D; M.Ed Ancaman Kehancuran Sumber Daya dan Lingkungan di laut Timor dan Wilayah Pesisir NTT (23/8).

Catatan sangat krusial Prof. Mia dalam tulisan tersebut adalah bahwa kerusakan yang diderita secara sangat dasyat itu merupakan akibat dari pencemaran tumpahan minyak jenis Light Crude Oil yang bersumber dari Ladang Montara di Blok West Atlas Laut Timor.

Tulisan berikut merupakan sebuah perspektif berbeda dari persoalan yang sama. Pisau yang digunakan adalah kajian struktural, dalam bingkai antropologi untuk mengerling problem yang sama.

Sebuah Nyanyian Sunyi di Lautan Lepas
Seruan, kajian, refleksi, telaahan dan pelbagai rilis mengenai keganasan dan dampak tercemarnya Laut Timor, kini bagai nyanyian sunyi di tengah amukan besar persoalan Laut Timor oleh karena hempasan ombak tercampur minyak yang kurang memberi aroma menyejukkan bagi para penghuni lautan dalam.

Kajian yang sangat brilliant dari Prof Mia merupakan sebuah proklamasi akan kerusakan yang sangat dasyat – dan total – di peringkat nilai-nilai kemanusiaan, yang seakan tidak digubris oleh para pengambil kebijakan berkenaan dengan kepentingan hidup banyak orang.

Suara berisik hempasan Laut Timor yang seakan beracun itu memporak-poranda harmonisasi lingkungan hidup: tidak saja para penghuni lautan dalam, melainkan iklim, udara, manusia yang mengkonsumsi hasil laut, makhluk yang mengandalkan kehidupannya pada perubahan kondisi dasar laut, juga alam-raya yang mendapat udara segar dari getaran gelombang ombak dan bunyi arus dasyat di kedalaman Laut Timor.

Suara Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) merupakan sebuah sentuhan kemanusiaan, tatkala nilai-nilai kehidupan dalam lingkungan yang tertata baik, yang kini dicemari tumpahan minyak, justeru tidak diikuti dengan tindakan nyata.

Bayangkan, minyak sudah tertumpah selama setahun berselang, lalu efeknya juga sudah disuarakan, padahal tim nasional baru mulai bergerak, lantas Australia yang memang sudah lama bergerak namun masih bermain kata untuk tawar-menawar harga ganti rugi! Malapetaka tidak menunggu tawar menawar ganti rugi, ia terus mengancam kehidupan, ia semakin merenggut celah-celah kehidupan yang tidak mendapat perlindungan alam yang bersih.

Lalu apa kata Pemerintah Indonesia di Jakarta, dan terlebih Pemerintah Nusa Tenggara Timur yang memproklamirkan diri sebagai provinsi kepulauan dengan kekayaan laut sebagai modal utama kehidupan kini dan nanti?

Memang, sekali lagi, seharusnya sangat disayangkan, oleh karena sudah setahun lewat, tidak ada reaksi yang signifikan untuk mencari solusi yang bermanfaat bagi kepentingan banyak orang, terlebih kalangan masyarakat sederhana, yang menetap di pesisir pantai sekitar kawasan Laut Timor.

Walau menurut pantauan serius dari Ketua YPTB, sudah ada beberapa strategi untuk memecahkan soal, namun baru pada tataran wacana, masih dalam perhelatan kepentingan politis yang penuh dengan berbagai rekayasa sosial.

Kepentingan mengungguli keprihatinan, wawasan yang terbatas mengalahkan penabdian yang bersih bagi kepentingan masyarakat luas, politik menjadi titik unggul dan nilai-nilai kemanusiaan taat serta bertekuk lutut di bawahnya.

Ternyata nyanyian sunyi ini telah dikumandangkan jauh-jauh hari sebelumnya antara lain Prof Dr Herman Johannes (alm) telah memprotes sikap Australia yang (1) mengklaim kepemilikan Gugusan Pulau Pasir dan (2) Australia tidak jujur membagi hasil ekonomi pada dasar Laut Timor (Zona Ekonomi Eksklusif) A, B dan C. Yang langsung mengemuka adalah keprihatinan terhadap kepentingan masyarakat kecil tidak dicari jalan keluar yang serius: misalnya menurunkan tim untuk mengambil data yang kualifide.


Barter Politik – Ekonomi versus Kemanusiaan
Dari aspek data, sesuai beberan Ferdy Tanone dan juga simak tulisan Prof Mia, jelas sekali bahwa tumpahan minyak di Laut Timor itu sangat berbahaya untuk sebuah jangka waktu yang lama. Manusia dan masyarakat berhadapan dengan lingkungan – tidak saja laut melainkan ekologi secara keseluruhan – sebagai harimau yang siap melahap mangsa kehidupan.

Laut Timor yang senantiasa bersahabat, justreru menjadi beringas bagi kehidupan semua makhluk ke depan. Laut yang selalu murah hati dengan memberi ikan segar dan mempersembahkan ke telinga hempasan-hempasan suara ombak yang menghibur, kini mulai ditakuti oleh karena menyimpan malapetaka bagi kehidupan.

Uraian sangat terperinci saudara Ferdy dapat dibaca secara lengkap pada sebuah terbitan SKANDAL LAUT TIMOR, Sebuah Barter Politik-Ekonomi Canberra – Jakarta (2008). Tulisan ini bertolak dari terbitan tersebut.

Inti persoalan yang harus dibahas berkenaan dengan pencemaran Laut Timor adalah persoalan kemanusiaan, sebuah malapetaka bangsa dan Negara, sebuah tragedy yang memilukan oleh karena menyangkut harga diri bangsa dan Negara. Akar persoalan harus dibaca pada paruh waktu antara 1970-an ketika Pemerintahan Indonesia lalai di aras politik untuk mempertahankan kepemilikan laut Timor.

Wawasana kebangsaan dan wawasan Nusantara tercemar oleh karena keputusan tergopoh-gopoh ketika Pemerintahan Indonesia secara kompromistis mengikuti klaim Australia untuk memiliki kawasan di sekitar laut Timor.

Karena itu perjanjian-perjanjian antara Pemerintahan Indonesia dan pihak Australia untuk menentukan tapal batas, antara lain peristiwa 18 Mei 1971, 9 Oktober 1972, 12 Februari 1973 yang memuncak pada peristiwa ditanda-tangani MOU 7 November 1974, kiranya perlu dicermati-ulang untuk menempatkan persoalan secara lebih benar mengenai daerah dapal batas.

Yang harus dikaji dengan teliti adalah sebuah pertemuan antara PM Australia Gough Whitlam (dari Partai Buruh) dengan Presiden Soeharto di Wonosobo (Jawa Tengah) pada tanggal 6 September 1974.

Apakah inti konspirasi politik yang salah di tingkat para pemimpin Negara – hal tersebut hendaknya dianalisis dengan memperhatikan struktur kehidupan politik dan ekonomi masyarakat ketika itu, dengan sasaran perjanjian dan serentak keputusan yang diambil ketika itu, kini menyengsarakan masyarakat.

Refleksi struktural atas perjanjian-perjanjian tersebut nampaknya memat prinsip barter politik dan mengorbankan kepentingan ekonomi masyarakat kecil. Perjanjian nampaknya terburu-buru, dan tidak secara mendalam memahami kepentingan masyarakat Indonesia di daerah pesisir pantai:
Timor, Rote, Sabu, Alor, Sulawesi Selatan, Flores dan sekitarnya. Ada kesan, keputusan politik justeru mengalahkan sebuah kajian yang mendalam mengenai potensi ekonomi yang dikorbankan untuk sebuah kesepakatan politik yang dangkal dan tidak memihak pada kepentingan masyarakat kecil.

Ini namanya tragedi kemanusiaan yang muncul dari sebuah kelalaian politik-ekonomi yang sepihak.Mestinya, jika dipertimbangkan dengan mendalam (Skandal Laut Timor, 2008: 16) maka Laut Timor termasuk lima kawasan besar dunia dari daerah berpotensi minyak yang jumlahnya hampir sebanding dengan potensi minyak bumi di Timur Tengah (Negara-Negara Arab).

Kelima daerah tersebut adalah Mexico, Venezuela, Argentina, Madagaskar dan Pulau Timor. Termasuk Laut Timor, beberapa lokasi seperti Masin Lulik (Belu Selatan, Timor Barat) dan Ailiambata (Viqueque, Timor Leste) dan beberapa kawasan berpotensi minyak bumi yang belum diidentifikasi oleh para ahli geologi, geofisika dan para pakar kekayaan alam darat dan laut.

Laut Timor terkenal sebagai penghasil teripang tertua, sirip ikan hiu dan penyu (Fox 2000) yang sangat diminati di Tiongkok dan sekitarnya. Sebuah catatan sejarah sekitar tahun 1882, para pedagang Makassar mengambil teripang di kawasan Laut Timor dan perairan Australia Utara (Northern Territory).

Gugusan Pulau Pasir atau dalam istilah Australia disebut Ashmore Reef terletak di ujung Barat Daya benua Australia, dan di bagian timur Samudera Hindia (12,13 Lintang Selatan dan 123, 5 Bujur Timur). Gugusan Pulau Pasir hanya 170 km selatan Pulau Rote, atau berjarak 840 km barat Kota Darwin (Australia Utara) dan 610 km utara Broome Australia Barat.

Gugusan Pulau Pasir, Siapa yang Punya?
Letak sebuah pulau kecil di kawasan Laut Timor – Gugusan Pulau Pasir – yang semula milik Indonesia, tetapi sama sekali tidak dijaga sehingga memudahkan Australia mengirim marinir untuk mendudukinya.

Seterusnya Australia mengklaim kawasan itu sebagai miliknya justeru semakin menjadi sangat rumit ketika Timor Timur terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Catatan sejarah (McKnight 1976; Clark 2000; Bernnet 2001; Dwyer 2001; Stacy 2001) dan kajian antropologis (Fox 1992, 2000) mengenai Gugusan Pulau Pasir yang semenjak abad 13-17 telah disebut sebagai bagianintegral dari kawasan Negara Maritim, embrio kawasan kepilauan Nusantara.

Sekitar abad 16-17, Timor tidak saja dikunjungi karena keharuman cendana yang khas, melainkan juga hasil dagang laut seperti teripang yang sangat laku di pasaran internasional. Sementara, para pedagang dan musafir mampir ke kawasan sekitar Gugusan Pulau Pasir untuk menghirup udara segar di wilayah itu.

Soal kepemilikan Gugusan Pulau Pasir, tentu bagai nasi sudah menjadi bubur, walau sekarang yang harus diperhatikan serius adalah dampak tumpahan minyak, baik bagi system ekologi dan ekonomi masyarakat di daerah pesisir pantai, juga bagi kesehatan manusia yang mem-produksi hasil-hasil laut seperti ikan, teripang, udang dan lain-lain.

Bahkan udara yang terhempas dari duplikasi gerakan ombak di laut dan tiupan angin laut yang bergerak dari gelombang dasar laut, bisa mempengaruhi kreativitas manusia dalam masyarakat.

Penelitian ilmiah harus mulai dari hal-hal seperti ini agar tidak berakibat fatal untuk suatu jangak waktu yang lama dan panjang ke depan. Ada beberapa pra-kiraan ilmiah yang ditemukan YPTB, yang hemat saya hendaknya menjadi titik tolak pergumulan ilmiah antara pihak pemerintah – maksudnya Pemda NTT – dengan YPTB, dalam rangka mencari kepastian ilmu yang benar (yang didukung fakta, data dan analisis) pada pelana menyelamatkan masyarakat dari tragedy kemanusiaan yang sangat memilukan ini.

Tim Nasional yang telah dibentuk di Jakarta hendaknya menjaring kerja sama dengan im Independen, Tim Pemda NTT – misalnya Dewan Riset daerah Provinsi NTT – dalam rangka bahu-membahu mencari solusi yang dapat diterima semua pihak.

Pada perspektif mencari solusi dan menindak-lanjuti keluhan masyarakat, YPTB telah melakukan sejumlah kegiatan yang patut didukung. Pemda Provinsi, dalam hal ini Dewan Riset Daerah (DRD) Propinsi NTT perlu memberi respons terhadap usaha yang terpuji dari YPTB ini.

Politik qua Politik dan Tuntutan Masyarakat
Masalah bangsa dan persoalan negara yang kini semakin menggelombang, dan getahnya sedang membikin masyarakat terbingung-bingung, salah satu akarnya ada pada “para elit politik” yang cerdas menjadikan politik sebagai alat untuk mencari kepuasan dalam berpolitik.

Hakekat politik selalu untuk kesejahteraan warga dalam alam kebersamaan yang harmonis. Karena itu kelalaian politik yang sudah turut mendukung terjadinya tragedy kemanusiaan seirama dengan tertumpahnya minyak di kawasan Laut Timor, tidak saja diselesaikan dengan medium politik yang sama, melainkan dengan aksi-aksi yang riil, kegiatan yang turut meringankan beban masyarakat kecil.

Kiranya Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur memperjuangkan hak-hak masyarakat yang telah menjadi korban, dan jalan awal menuju perjuangan tersebut adalah membentuk tim independent untuk membuat penelitian ilmiah.

Tanggal 30 April 2003 tercetus Maklumat Insana yakni tuntutan Masyarakat Adat Timor Barat, Rote-Ndao, Sabu dan Alor; bertempat di bekas Kerajaan Insana (Oelolok?). Ketua YPTB mendapat mandat darip ara Raja untuk menelaah-ulang tapal batas di perairan Laut Timor.

Persetujuan politis para raja tentu direstui kekuatan dan kekuasaan para leluhur Wehali-Waiwiku, Suai-Kamanasa, Manuaman-Lakan, Kopan-Olain, Babau-Panmuti, Mutis-Bobnai, Timau-Faumes bersama para Manek dari barisan nusak di kawasan Rote dan para pemimpin kerajaan di Alor.

Yang tercetus dari nurani para raja adalah Gugusan Pulau Pasir dan kekayaan Laut Timor jangan dijadikan bahan pemicu politik, melainkan sebuah modal dasar untuk mensejahterakan masyarakat di Pulau Timor, Rote-Ndao, Sabu-Raijua dan Alor-Pantar.

Gema dari suara para raja dialamatkan juga kepada Perserikatan Bngsa-Bangsa (PBB) mengenai hukum laut (UNCLOS) yang berlaku. Seruan yang terkuak berbunyi, agar Dunia Internasional dan PBB mengembalikan hak-hak adat Masyarakat NTT akan Gugusan Pulau Pasir dan sekitarnya.

Terhadap pencemaran Laut Timor, Ketua YPTB telah berkali-kali melancarkan serangan argumentasi mengatas-namai kawanan besar Masyarakat Adat NTT untuk membayar, menyelesaikan malapetaka kemanusiaan, merehabilitasi harmonisasi lingkungan alam dan mengganti-rugi penderitaan berkepanjangan dari masyarakat kecil.

Laut Timor yang menjadi buas
Jika alam mulai marah dan mengancam, maka ke manakah manusia beranjak pergi? Catatan berbagai penyakit akibat tumpahan minyak mentah bercampur gas sebagaimana dicatat oleh Prof Mia, hendaknya menjadi pusat perhatian para peneliti independen yang menjalin kerja sama dengan pihak pemerintah daerah dan pihak YPTB.

Hendaknya diteliti dengan cerdas dan cermat, apakah hasil kekayaan Laut Timor yang sekarang diperoleh – seperti ikan, teripang dan lain sebagainya – mengandung kondensat dan zat timah hitam serta zat-zat kimia lainnya yang justeru sangat berbahaya bagi kesehatan umat manusia?

Apakah Laut Timor masih seperti doeloe, yang selalu bersikap ramah dengan memberi hasil ikan yang baik bagi manusia? Kusudahi tulisan ini dengan mengerling suasana dan kondisi kehidupan masyarakat, nusa dan bangsa akhir-akhri ini.

Akar persoalan sebetulnya berada di aras politik, yakni sebuah kelalaian politik, yang langsung berbias pada kepentingan nilai-nilai manusia, di mana hak, kepentingan dan lingkungan alam menjadi obyek penderitaan dari percaturan politik yang tidak memiliki idalisme bagi kesejahteraan masyarakat. Riak-riak kegagalan dalam peta politik kita hendaknya direfleksi ulang.

Kata-kata kunci untuk membangun sebuah kegiatan ‘merefleksi ulang’ (tidak saja berlaku untuk Persoalan Laut Timor) adalah menempatkan paradigma dan nuansa politik pada pelana yang benar dan tepat, yakni senantiasa memberi udara yang segar kepada masyarakat untuk mengecapi kekayaan alam yang dimilikinya.

Dalam hal ini Masyarakat di daerah sekitar Laut Timor harus diberdayakan sebagai SUBYEK dalam usaha eksploitasi kekayaan Laut Timor dan seluruh kekayaan di dalamnya. Masyarakat NTT tidak boleh dianggap sepele dalam proses penyelesaian Masalah Laut Timor karena mereka adalah pemiliknya yang sah!

Tim Nasional atau pihak Jakarta hendaknya memberi peluang kepada Pemda Provinsi NTT untuk secara kreatif menyelesaikan persoalan Laut Timor dengan menggunakan dana ganti rugi yang sedang dituntut dari Austraslia.

Yang perlu dijaga adalah politik bukan demi dan untuk politik itu sendiri, juga politik bukan untuk dan demi kekuasaan, kedudukan atau harta! Politik adalah jembatan untuk mencipta HARMONISASI! Dalam arti setiap aksi politik – dalam hal ini berkenaan dengan kepentingan Laut Timor – hendaknya diabdi bagi harmonisasi, tidak saja sebatas manusia dengan manusia dari seantero kawasan yang telah disebut, melainkan para leluhur, Yang Ilahi dan sistem ekologi (the ecological system).